
Di masa kini, guru yang pandai berkomunikasi bukan yang selalu lantang berbicara tentang keilmuannya di kelas, namun juga mampu menepikan keilmuannya dalam teks yang terhubung dengan video di Youtube dan multi referensi dari berbagai sumber yang kemudian di-upload dalam blog atau web pribadinya. Guru dengan kompetensi sosial yang mumpuni tidak hanya menjalankan apa yang sudah menjadi kewajiban, namun juga menjalankan relasi guru-siswa yang baik ketika di luar kelas.
Guru yang baik di era baru ini, bukanlah guru yang serba bisa, namun guru yang bisa membaca animo para siswa terhadap keilmuannya. Guru yang dapat menjawab kegelisahan siswa lewat berbagi pengalaman dan status yang inspiratif bagi siswa di Facebook atau Twitter. Oleh karenanya, pesan yang baik akan lebih diterima siswa ketika guru dapat belajar menjadi teman yang baik dari siswa.
Semakin inklusif seorang guru, maka penerimaan siswa akan semakin baik terhadap guru tersebut. Model relasi kuasa guru-murid dan dosen-mahasiswa sudah tidak relevan lagi. Media sosial (FB, Twitter, BBM, Path, Instagram, Youtube) mendekontruksi guru-guru tiran. Bahkan sangat mudah bagi siswa untuk mengadukan guru ca bul, guru error, guru dengan istilah negatif lainnya melalui socmed. Bila Anak Main Gadget
Terjadinya pergeseran tadi dari inklusivitas dan horisontalisasi menghadirkan terjadinya pergeseran dari individual ke sosial. Guru dan siswa menyatu dalam komunitas yang memiliki kecenderungan yang sama terhadap sesuatu, apakah itu hobi, menjadi rekan dalam klub pustaka di internet seperti goodreads Indonesia.
Kompetensi sosial ini akan luntur apabila guru justru menjadi “ember”, dengan memberitahukan hal-hal negatif yang terjadi pada siswa. Ini malah membuat siswa tidak punya ruang ekspresi, sehingga hal-hal yang jujur, seperti kebencian terhadap guru tertentu atau kritik terhadap pelayanan dan kualitas sekolah, bukan menjadi evaluasi tapi diartikan sebagai penghinaan terhadap sekolah. Inilah mengapa ada kasus siswa yang dikeluarkan dari sekolah karena menghina sekolah.
Dengan memperhatikan bagaimana mereka terhubung di dunia maya secara online dan real time, memamerkan kenarsisan sebagai status dan simbol diri, bermain monster-monster digital yang dimainkan oleh rekan-rekannya dari negara-negara yang berbeda dalam online games, mengeluh, dan berbelanja di dunia maya.
Watak digital yang sudah tersetel secara alami pada generasi saat ini adalah sebuah keniscayaan. Tantangan bagi calon guru dan guru yang sudah menahbiskan dirinya di dalam dunia pendidikan tidak bisa imun dengan zaman digital yang berciri:
- dinamika yang serba cepat berubah (vitality)
- penuh ketidakpastian (uncertainty)
- rumit penuh komplikasi (complexity)
- membingungkan (ambiguity)
Dengan tantangan seperti itu, maka guru harus mengubah paradigma pembelajaran menjadi lebih ramah dan menyenangkan. Guru imigran digital berperan vital sebagai pemberi arah bagi calon nakhoda (siswa) yang mengendalikan kemudi kapal besar bernama Indonesia di masa mendatang.
Akhir kata, seorang guru yang baik akan beradaptasi dengan perubahan yang sedang terjadi. Jika seorang guru telah berhasil menjadi imigran digital maka ilmu pengetahuan yang diajarkan sesuai zamannya, akan lebih mudah diterjemahkan dan dimaknai oleh generasi di zaman tersebut.
Opini: Muhammad Ivan, S.Pd (Staf Asisten Deputi Dikdas, PAUD, dan Dikmas)
Keterampilan Sosial Guru di Era Informasi