
Post power syndrome atau sindrom pasca kekuasaan adalah suatu bentuk penyakit kejiwaan yang dialami individu karena kehilangan sesuatu yang dicintainya, atau sesuatu yang dianggap berharga telah hilang, seperti kekuasaan, kecantikannya, kepintarannya, dan lain sebagainya.
Gambar post power syndrome: www.lenterasehat.com
Awalnya post power syndrome ditujukan kepada orang-orang mempunyai kekuasaan atau menjabat satu jabatan, namun ketika sudah tidak menjabat lagi, seketika itu terlihat gejala-gejala kejiwaan atau emosi yang kurang stabil. Hal ini sesuai dengan pengertian istilah post power syndrome yaitu post berarti setelah, syndrome memiliki arti kumpulan gejala dan power berarti kekuasaan. Jadi, terjemahan dari post power syndrome adalah gejala-gejala pasca/ setelah kekuasaan.
Bentuk Post Power Syndrome
Pada dasarnya post power syndrome memiliki beberapa bentuk, yang mana kesemua bentuk tersebut memiliki karakteristik sendiri. Namun, secara umum kesemua bentuk post power syndrome tersebut berkonotasi negatif bagi perkembangan kesehatan jiwa seseorang.
Bila individu tersebut memiliki jabatan, kekuasaan dan pengaruh yang cukup besar di masa kerjanya, begitu memasuki pensiun semua itu tidak dimilikinya, sehingga timbullah berbagai gangguan psikis yang semestinya tidak perlu.
Hal ini berdampak negatif terhadap dirinya, mereka mendadak menjadi sangat sensitif dan merasa hidupnya akan segera berakhir hanya karena masa kejayaannya telah berlalu. Bentuk dari reaksi negatif yang muncul dalam menghadapi masa pensiun seperti merasa minder, malas bekerja, atau muncul kecemasan bahkan berbagai penyakit dan tidak jarang pula individu powerless.
Individu-individu yang mengalami post power syndrome memiliki kehampaan terhadap nilai-nilai baru, mengamati lingkungannya berdasarkan nilai-nilai subyektif yang dia anut, tidak memiliki kreativitas seperti yang diperlihatkan orang yang sehat karena individu tersebut hanya menerima saja sesuatu yang diberikan lingkungan kepada dirinya, sehingga untuk memenuhi kebutuhannya individu sangat bergantung kepada lingkungannya.
Selain itu, individu yang mengalami post power syndrome dikuasai oleh perasan malu terhadap kekurangan-kekurangan yang ada di dalam dirinya, sehingga membuat individu menampakkan perilaku negatif seperti suka marah di muka umum, senang mengkritik, dan senang menceritakan masa kejayaannya.
Selain itu, individu yang mengalami post power syndrome juga merasakan perasaan kecewa, kesal, perasaan kosong, merasa tidak dibutuhkan, tidak berdaya, tidak berarti, merasa sendirian, dst. Karena sifat dari emosi ini adalah negatif maka keberadaan metapatologi atau post power syndrome ini menjadi penghambat bagi individu dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan.
Berdasarkan penjelasan-penjelasan tersebut maka dapat diambil kesimpulan bahwa individu yang mengalami post power syndrome akan memperlihatkan amarah, berlaku sombong dan senang membanggakan diri sendiri dengan cara pamer kepada orang lain yang mana tujuannya agar dipandang lebih tinggi dari pada individu lain. Selain itu, individu yang mengalami post power syndrome juga memiliki sifat senang berburuk sangka kepada orang lain. Di samping itu, terhadap persoalan yang dia hadapi sendiri individu akan cepat berputus asa, dan malas.
Post power syndrome dapat diartikan sebagai salah satu bentuk metapatologi yang artinya suatu perasaan tidak enak yang agak tidak terbentuk; merasa sendirian, tak berdaya, tak berarti, tertekan, dan putus asa. Jenis kesakitan yang disebabkan oleh kegagalan dari kebutuhan-kebutuhan pertumbuhan tidak dialami secara eksplisit seperti apa yang disebabkan oleh kegagalan kebutuhan-kebutuhan lebih rendah.
Ciri-ciri orang yang rentan mengalami post power syndrome, yaitu:
- orang-orang yang senangnya dihargai dan dihormati orang lain, yang permintaannya selalu dituruti, yang suka dilayani orang lain.
- orang-orang yang membutuhkan pengakuan dari orang lain karena kurangnya harga diri, sehingga jika individu tersebut memiliki jabatan dia merasa diakui orang lain.
- orang-orang yang menaruh arti hidupnya pada prestasi jabatan dan pada kemampuan untuk mengatur hidup orang lain, untuk berkuasa terhadap orang lain.
Umumnya post power syndrome hampir selalu dialami oleh orang yang pensiun terutama lansia, hanya saja ada yang melaluinya dengan cepat dan segera dapat menerima kondisi barunya dengan lapang dada dan ikhlas. Namun, pada kasus-kasus tertentu individu tidak mampu menerima kenyataan yang ada terutama jika pensiun itu dipaksakan dan bukan karena kesadaran harus pensiun maka resiko post power syndrome yang berat semakin besar.
Referensi:
- Hartati, N. 2002. Post Power Syndrome Sebagai Gangguan Mental Pada Pensiun. Jakarta: Jurnal Tazkiya Vol.2 No.1
Post Power Syndrome – Gejala Pasca Kekuasaan