
Di Kecamatan Indramayu Jawa Barat ada sebuah desa yang bernama Pabean, namun saat ini tidak ada aktivitas Kepabeanan di desa tersebut. Namun apakan benar, dahulu desa ini merupakan daerah kepabeanan karena di pelabuhan memungut bea, jadi disebut daerah pabean.
Saat ini, ada dua desa dengan nama Pabean yaitu Desa Pabean Udik dan Desa Pabean Hilir. Pabean Udik dan Pabean Hilir berawal dari hilir mudik (pulang pergi). Dulunya sungai Cimanuk yang membelah kota Indramayu termasuk sungai besar yang bisa dilalui kapal para nelayan. Ada pelabuhan nelayan, sehingga ada kapal yang berangkat ke hilir dan pulang ke udik.
Menurut Sesepuh Desa Pabean, sebenarnya Desa Pabean sudah terbagi tiga desa. Desa Pabean Udik sendiri dibagi menjadi dua desa yaitu Desa Karangsong dan Desa Brondong. Sedangkan satu lagi Desa Pabean Hilir. Karangsong adalah nama sebuah desa pecantilan (dukuh), yang pada waktu itu masyarakat mengenalnya dengan nama karang kosong. Tempat kepemerintahannya berada di Desa Pabean Udik.
Tetapi walaupun Karangsong hanya sebuah pecantilan namanya lebih dikenal masyarakat luas dibandingkan dengan nama Pabean Udik yang menjadi desanya. Pedukuhan Karangsong dikenal sebagai kampung nelayan dan pengrajin kapal, sejak hadirnya banyak warga yang pandai membuat kapal nelayan. Asal mula Desa Karangsong terletak didekat pesisir pantai dimana alam telah menimbulkan tanah sejauh satu sampai dua kilometer. Pada saat itu sesepuh bersama tokoh masyarakat sepakat untuk menamakan desa pemekaran itu menjadi Desa Karangsong yang berarti karang itu tanah song, tidak berpenghuni atau tanah alam yang belum berpenghuni.
Sedangkan nama Desa Brondong, Kecamatan Pasekan muncul ketika pada masa penjajahan tentara sekutu, yang waktu itu membakar lahan atau sawah masyarakat dengan cara menembakkan senapan ke sawah, akhirnya sawah yang kering terbakar habis. Dengan bahasa lain yang mungkin lebih familiar adalah “dibrondong” peluru.
Jejak Sejarah Desa Pabean Indramayu
Ada sejarah yang mencatat bahwa pengelana Portugis, Tome Pires (1513-1515) menyebut adanya pelabuhan terbesar kedua di pantai utara setelah Sunda Kalapa, yakni Cimanuk. Pelabuhan lainnya adalah Bantam (Banten), Pomdam (Pontang), Cheguide (Cigede), Tamgaram (Tangerang). Masyarakat sekitar pelabuhan Cimanuk sudah muslim, tetapi syahbandarnya penyembah berhala dari Kerajaan Sunda/Pajajaran.
Lokasi pelabuan Cimanuk sekarang diperkirakan di Kabupaten Indramayu, tepatnya di sekitar Desa Pabean Hilir, Kelurahan Paoman, Kecamatan Indramayu, Desa Pabean Udik, Pagirikan, dan Pasekan, Kecamatan Pasekan. Setelah hampir 500 tahun jejak-jejak pelabuhan tersebut nyaris tak diketemukan, artefak yang bisa ”berbicara” adanya aktivitas pelabuhan, dermaga tempat bersandar kapal, bangunan bongkar-muat barang, atapun kantor syahbandar tak berbekas sama sekali.
Jejak sebagai kota pelabuhan secara historis memang tetap melekat pada nama-nama desa/ kelurahan yang merujuk pada aktivitas pelabuhan, yakni Pabean, Pagirikan, Pasekan, dan Paoman. Nama Pabean berasal dari kegiatan ”pabean” atau pengambilan bea masuk bagi kapal-kapal di pelabuhan. Pagirikan berasal dari kata ”girik” atau surat-surat untuk kapal. Pasekan merujuk kosakata ”pasek”-nya barang-barang ketika bongkar-muat. Paoman berasal dari kata Pa-omah-an atau perumahan para pegawai pelabuhan
Ramainya pelabuan Cimanuk dulu, menarik perhatian bangsa lain. Tak sedikit yang berasal dari Cina dan Arab kemudian menetap di Indramayu. Awalnya daerah pecinan berdiri di sebelah timur sungai Cimanuk, atau kini sekitar Kelurahan Lemahabang dan Karanganyar Kecamatan Indramayu. Perkampungan Arab di sebelah barat sungai Cimanuk, atau kini tepatnya di Desa Dermayu Kecamatan Sindang.
Cina dan Arab mendominasi urat nadi perdagangan saat itu. Beberapa bangunan milik warga keturunan Cina seperti bekas gudang beras, pabrik es, dan penggilingan padi menandai hal itu. Arsitektur khas Cina masih dijumpai pada bangunan rumah, toko, dan kelenteng. Sedangkan pengaruh bangunan Eropa tampak pada gereja dan sekolah misi zending, meskipun didirikan oleh warga keturunan Cina
Hingga kini jejak-jejak Cimanuk sebagai kota pelabuhan hampir hilang. Sungai itu tak lagi mengalir melintasi Kota Indramayu, tetapi dibelokkan ke luar kota. Alasannya sungai itu acap kali meluap dan menjadi penyebab banjir di kota. Cimanuk “dimatikan” sejak dekade akhir 1990 dan kini sepanjang sungai yang mengering sudah banyak dibangun rumah penduduk. Tidak seperti Sungai Musi di Palembang atau Sungai Chao Praya di Bangkok Thailand, yang dilestarikan menjadi objek wisata dan sejarah.
Hingga dekade 1970 sebenarnya Cimanuk menjadi ikon Kota Indramayu. Selain sungai dan perahu nelayan yang hilir-mudik, juga ada jembatan yang bisa “buka-tutup” ketika perahu atau kapal melintas. Jembatan dengan sistem tersebut sudah berusia ratusan tahun, namun kemudian diganti menjadi jembatan biasa yang tentu saja tertutup bagi perlintasan perahu atau kapal.
Dilihat dari aspek sosial, ekonomi, budaya, dan agama, Cimanuk merupakan urat nadi kehidupan kota. Bangunan-bangunan lama berdiri di sepanjang tepiannya, seperti pertokoan, gudang, pabrik, perkantoran, tempat ibadah (mesjid, kelenteng, gereja), sekolah yang didirikan Belanda dan markas keamanan. Sebagian masih berfungsi atau direnovasi, sebagian terbengkalai, dan sebagian lagi hilang tak berbekas.
Sejarah Desa Pabean Indramayu Jawa Barat – Lentera Kecil