
Musim mudik lebaran 2017 telah tiba. Mudik lebaran dalam arti pulang khusus beridulfitri seperti dikenal di Indonesia, tidak ada pada zaman Rasulullah Saw. Namun, Rasulullah Saw mengajarkan setiap individu muslim menebarkan salam dan menyambung silaturahmi. Oleh karena itu, mudik dalam rangka berlebaran itu hakikatnya adalah bersilaturahmi. Ini adalah ajaran bersosialisasi untuk mempererat persaudaraan dan kebersamaan dan mempererat tali simpul ukhuwah Islamiyah.
Tradisi mudik lebaran dalam rangka silaturahmi tidaklah melanggar sunnah, karena mudik hanyalah sekadar teknis belaka karena kondisi masyarakat muslim yang merantau, lalu ingin menyempatkan pulang, berlebaran bersama orangtua dan sanak keluarga. Mudik yang begitu masiv seperti di Indonesia tak ditemukan di negara-negara lain yang berpenduduk muslim. Masyarakat Indonesia yang sangat tergantung kota untuk mengubah nasib ekonominya, sehingga terjadi urbanisasi, mengondisikan adanya tradisi mudik pada hari Idul Fitri.
Tradisi Mudik Lebaran
Menurut budayawan Umar Kayam (2002) tradisi mudik musim lebaran sudah berjalan berabad-abad lamanya. Secara historis, mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa yang sudah dikenal jauh sebelum berdiri Kerajaan Majapahit. Pada awalnya, kegiatan ini bertujuan untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan, memohon keselamatan kampung halamannya. Mudik pada zaman Majapahit, dilaksanakan secara rutin setahun sekali. Pada saat masuk agama Islam ke Jawa, tradisi ini berubah menjadi tradisi silaturahmi pada saat Idul Fitri.
Dalam referensi lain disebutkan, tradisi mudik sebetulnya sudah dikenal masyarakat Indonesia pada zaman prasejarah. Masyarakat prasejarah yang nomaden, akan menemukan tempat tinggal setelah berpindah-pindah dari tempat asalnya. Tetapi pada bulan-bulan tertentu mereka berbondong-bondong meninggalkan rumah tinggal mereka untuk kembali ke tanah asalnya untuk melakukan ritual penyembahan terhadap arwah nenek moyang.
Tampak sekali, tradisi mudik telah mengalami transformasi dari zaman ke zaman dengan segala pemaknaannya yang berbeda-beda, walaupun pada intinya tak lepas dari sisi kegiatan religi masyarakat Indonesia, baik pada masa animisme prasejarah, masa Hindu/Budha, bahkan pada masyarakat Islam selama berabad-abad.
Mudik Ajang Promosi
Sekarang, fenomena ini telah berkembang sedemikian rupa, dari mulai cara mereka mudik, model transportasi yang digunakan, sampai mudik dijadikan sebagai ajang pembuktian keberhasilan sosial ekonomi masyarakat “udik” yang “ngota” saat kembali ke kampung halaman mereka.
Rombongan pemudik yang massal yang berjalan selama berhari-hari, telah dimanfaatkan oleh sejumlah perusahaan untuk berpromosi, branding, pendekatan dengan konsumen, atau sekadar bentuk pelayanan perusahaan kepada masyarakat. Bentuk promosinya bisa melalui berbagai media atau bahkan event-event pelayanan di posko mudik, yang menyediakan aneka pelayanan, dan tentu saja identitas perusahaan dikedepankan.
Sekarang tradisi musim mudik lebaran telah menjelma menjadi sebuah fenomena yang meriah, berkembang tak hanya untuk memenuhi hasrat bersilaturahmi dan berkumpul dengan sanak keluarga pada hari Idul Fitri, tapi juga dipakai sebagai ajang pembuktian keberhasilan mereka di kota. Berapapun biaya yang dikeluarkan, tak masalah, yang penting hasrat-hasrat itu bisa terpenuhi. Tingkat konsumsi para pemudik begitu besar, dan inilah yang dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh perusahaan-perusahaan untuk melakukan promosi, menawarkan produk-produk yang bisa dipakai para pemudik, mulai dari produk HP, sepeda motor, mobil, sampai pakaian serta makanan dan minuman.
Tradisi mudik lebaran – Lentera Kecil