
Sekitar abad 16 di wilayah Nusantara ada beberapa kerajaan yang telah memiliki syahbandar di antaranya Kerajaan Aceh masa kejayaan Sultan Iskandar Muda, dan Kerajaan Demak yang memiliki pelabuhan Jepara. Demikian halnya pelabuhan-pelabuhan seperti Malaka, Banten, Tuban, Gresik, Martapura, Banjarmasin, Makassar, dan pelabuhan lainnya peran syahbandar yang memungut bea masuk dan keluar telah dikenal dalam kegiatan perdagangan. Apapun namanya pungutan-pungutan yang telah ada pada masa kerajaan itu adalah bentuk awal dari pelaksanaan kegiatan kebeacukaian di Indonesia.
Pada zaman kolonial, kegiatan kebeacukaian tersebut mulai terlembaga secara modern ketika pada 1 Oktober 1620 Jan Pieterszoon Coen, Gubernur Jenderal Vereenigde Oost-Indische Compagnie (VOC) menetapkan secara resmi tarif tol atau pungutan resmi atas barang ekspor dan impor yang berlaku di Hindia Timur (Oost-Indische). Peraturan tarif tol yang diperlakukan untuk kepentingan fiskal itu memuat 84 macam jenis barang dengan tarif sama besarnya untuk semua jenis barang yaitu 5% kecuali tarif tol untuk arak sebesar 10%.
Pada 1656 VOC kembali menetapkan tarif bea masuk yang bersifat melindungi (proteksi). Pada perkembangannya di masa VOC, beberapa Gubernur Jenderal yang memimpin maskapai dagang itu terus memperbarui sistem tarif tol yang diperlukan untuk kepentingan fiskal atau sebagai proteksi atas barang tertentu sampai berakhirnya masa kejayaan VOC karena praktek korupsi para pejabatnya pada tahun 1799.
Sejarah Kegiatan Kebeacukaian di Indonesia
Sejak VOC secara resmi dibubarkan, beberapa wilayah kekuasaannya di Hindia Timur jatuh ke tangan Inggris. Penguasa Inggris mengangkat Thomas Stamford Raffles sebagai Letnan Gubernur di Jawa. Dalam rangka memulihkan tata kehidupan politik dan ekonomi yang lebih baik di wilayah Hindia Timur, Raffles mulai menerapkan sistem baru yang banyak dipengaruhi oleh pengalamannya di India.
Raffles mengubah sistem pajak yang bersifat komunal menjadi pajak kepala atau individu, terutama dalam pajak tanah. Praktek kebeacuakaian atas sewa boom atau penyewaan pemungutan bea masuk dan bea keluar yang telah berlangsung sejak zaman VOC mulai dihapuskan secara total sejak 1811. Selama lima tahun berkuasa di Hindia Timur, pemerintahan Inggris telah mengubah besaran tarif tol sebanyak empat kali. Perubahan besaran tarif tol itu berkisar antara 6% hingga 10%.
Setelah kekuasaan Inggris berakhir, Hindia Timur disebut sebagai Hindia Belanda (Nederland Indie) dan diperintah oleh Komisaris Jenderal (1816-1819) yang terdiri dari Elout, Buyskes dan Van Der Capellen. Pemerintah Hindia Belanda membuat kebijakan tarif tol baru yang berguna untuk menguntungkan kapal dagang Belanda dan memperkuat industri tekstil di negeri Belanda. Inilah yang kemudian dikenal sebagai sistem tarif proteksi.
Pada 1865 pemerintah Belanda menetapkan Undang-Undang Tarif Hindia Belanda yang pertama dan terus diperbarui hingga pada 1909 diberlakukan Indische Tarief Wet sebagai perbaikan dari undang-undang sebelumnya. Sebagai pelaksanaan dari Wet yang ditetapkan oleh Negeri Belanda, di Hindia Belanda (Indonesia) pemerintah juga menetapkan peraturan dalam bentuk ordonansi yang pada 1932 dikenal dengan sebutan Reachten Ordonantie atau Ordonansi Bea (OB).
Di samping itu pemerintah Hindia Belanda juga menetapkan beberapa ordonansi cukai yang berlaku hingga berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI), yaitu Ordonansi Cukai Alkohol Sulingan (1873 dan 1934), Minyak Bumi (1886), Bir (1931), Tembakau (1932), Gula (1933), dan Korek Api (dihapus pada 1947).
Bagaimana dengan Sejarah Direktorat Bea dan Cukai Indonesia ?
(Sumber : Pertumbuhan dan Perkembangan Bea dan Cukai Dari Masa Ke Masa, DJBC 1995)
Sejarah Pelaksanaan Kebeacukaian di Indonesia – Lentera Kecil